Please kindly play this
songs when u read this :
-
Maudy Ayunda –
Tahu diri
-
One Direction –
One Thing
-
Ran – Dekat dihati
-
Endah n Rhessa –
When you love someone
Haruskah kita percaya
pada fakta? Lalu, bagaimana jika kita memilih untuk tidak mempercayainya?
Salahkah kita?
Faktanya, mempercayai
sebuah realita, tak semudah ketika kita membuat prasangka. Tak seindah rasanya ketika
jatuh cinta. Juga tak sebahagia seperti kencan untuk yang pertama.
Aku, salah seorang yang
takut mempercayai realita. Bagaimana kalau nyatanya fakta itu menyakitkan?
Bagaimana jika realita membuatku terluka? Aku takut. Aku seorang pengecut.
Terlalu banyak mimpi
dan angan yang kubuat sendiri. Hingga aku tak sadar, aku terlalu berharap. Aku tak
realistis. Memimpikan sesuatu yang tak pasti, yang tak akan pernah terjadi. Tapi,
bukankah setiap jiwa punya mimpi? Bukankan setiap insan berhak mempunyai harapan?
Jawabnya iya. Tapi di kisahku, harapan itu justru membawaku semakin jatuh. Tidak.
Jangan salahkan orang itu. Salahkan saja aku, yang dengan beraninya mencoba menawarkan
hati yang baru. Dengan tidak sopannya mencoba masuk ke hati yang bahkan sudah
terisi.-
September, 2000
Aku mulai melihatmu. Menyadari
keberadaanmu disekitarku. Awalnya biasa namun akhirnya bahkan aku sendiri pun
tak menduga. Saat kamu berjalan melewatiku dengan teman-temanmu disetai gelak
tawamu-Yang bahkan tanpa kusadari membuat atmosfer sekitarku dipenuhi rasa bahagia-Seperti
asyik dengan dunia kalian sendiri. Hingga tak menyadari keberadaanku.
Kamu dan temanmu,
berjalan beriringan. Memenuhi jalanan. Seakan ingin menunjukkan. Hei, inilah
kami. Sekelompok pemuda yang akan merubah masa depan. Akhirnya, aku mulai kagum
padamu. Bagaimana tidak? Setiap hari, kamu dan teman-temanmu berduyun-duyun,
mendekati rumah Tuhan. Masuk ke dalamnya, dan berdoa untuk kebahagiaan semesta.
Sepertinya pria macam inilah yang pantas dijadikan masa depan. Aku pikir.
Oktober, 2000
Satu bulan sudah aku
mengamatimu. Melihat tingkah lakumu. Ah, tampaknya semakin hari semakin besar
rasa kagumku kepadamu. Harapanku padamu kian besar. Menggantungkan harapan pada
orang yang bahkan tidak kenal denganku? Cih, betapa bodohnya aku saat itu.
Harapanku pupus. Ketika
kutahu kau-yang bahkan belum kutahu namanya- berjalan beriringan. Bukan. Bukan berjalan
beriringan dengan teman-temanmu seperti biasa. Tapi kali ini dengan seorang
wanita. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali. Hancur? Mungkin. Aku merasa
sia-sia. Aku merasa bodoh. Aku egois ketika merasa tak seharusnya kamu bersama
wanita itu. Aku cukup egois ketika menginginkanmu ada.
Aku memaksa diriku
sendiri untuk tak melihatmu, untuk berhenti mengagumimu. Karena semakin aku
melihatmu, semakin dekat aku dengan kehancuranku. Tapi? Bukankah hati tak bisa
diatur? Bahkan oleh diri sendiri. Ia tak bisa diprediksi. Kapan akan jatuh
hati, dan kapan akan berhenti mengagumi.
Sekuat tenaga ku
berusaha, untuk berhenti menantimu. Berhenti berharap akan sesuatu yang tak
pasti. Tapi, apa dayaku? Seperti kataku. Hati tidak bisa diatur dan tidak bisa
diprediksi. Setengah hati seperti menyuruhku berhenti mengagumi, namun hati
yang lain seperti tak mau berhenti. Ia berkata terus berusaha dan jangan
menyerah memperjuangkanmu. Sialku, aku lebih memilih untuk berusaha dan tetap
menantimu. Walaupun pada akhirnya aku tahu, akulah yang akan kalah pada
persaingan ini. akulah yang akan tenggelam dalam perasaanku sendiri.
Seakan tak ada
habisnya. Hal yang membuatku semakin hancur datang. Bagaikan angin. Ia tak
membiarkan daun diam. Angin terus mengusik daun hingga akhirnya daun itu jatuh.
Kemudian terinjak oleh kaki-kaki makhluk yang berjalan diatas muka bumi.
Begitupun aku. Seperti
tak pernah membiarkanku istirahat dan bersantai. Kabar buruk datang. Kamu mengalami
suatu accident. Hingga harus dirawat 3minggu lamanya. Aku panik
sepanik-paniknya. Beruntunglah, aku berhasil menahan langkah kakiku untuk tidak
berbuat gegabah berlari menuju tempatmu dirawat. Kutahan dalam-dalam keinginan
untuk bertanya pada teman-temanmu tentang bagaimana keadaanmu. Hingga 3minggu
kedepan. Tak akan kudengar suara motormu yang bahkam sudah kuhafal diluar
kepala. Yang dengan gilanya bisa membuatku lari menuju jendela hanya untuk
melihatmu datang. Ingatlah, aku selalu
berdoa untuk kesembuhanmu.
November, 2000
3minggu berlalu. Kamu
kembali. Dengan keadaan kaki yang di gips-akhirnya kutahu bahwa kakimu patah-
tenanglah wahai pria, kakimu itu tak mengurangi rasa kagumku kepadamu. Justru,
rasa kagumku bertambah ketika melihatmu dengan semangatnya berjalan beriringan
seperti tak pernah terjadi apa-apa menuju ke rumah Tuhan. Kamu mengingatkanku,
bagaimanapun keadaan manusia, kita tak boleh lupa pada Sang Pencipta.
Hari-hari ku masih
dilalui dengan memperhatikanmu diam-diam. Akhirnya kutahu namamu. Nama yang
indah dan akan selalu kuingat. Setelah kamu kembali, aku sudah tak pernah melihatmu
berjalan dengan wanita tempo hari. Ah, betapa senangnya aku. kamu kembali,
dengan keadaan sendiri.
Kamu saat itu masih
belum bisa mengendarai kendaraan hingga akhirnya harus antar-jemput. Dan,
tahukah kamu? Aku selalu ikut menunggu bersamamu. Memastikan kamu pulang baru
akhirnya aku pulang ke rumah. Pulang. Adalah hal yang paling aku nantikan. Bagaimana
tidak? Dengan begitu aku bisa puas memandangimu secara cuma-Cuma. Lewat celah
jendela. Aku rasa, bahkan cerita-cerita roman pun bisa kalah dengan kisahku.
Desember, 2000
Masih dengan rasa yang
sama. Masih dengan penantian yang sama.
Akhirnya, kamu mulai
bisa berkendara sendiri. Harus senang? Ataukah sedih? Senang karena akhirnya
kutahu, penderitaanmu telah usai. Gipsmu telah dilepas. Perlahan tapi pasti,
kamu mulai berangsur-angsur membaik. Sialnya, aku jadi tak memiliki kesempatan
lagi ikut menungguimu, memperhatikan setiap tingkahmu secara Cuma-Cuma. Melihatmu
kepanasan ketika menunggu jemputan yang membuatku ingin berlari membawakan
payung untukmu.
Akhir tahun datang. Hari
libur yang dinantikan orang lain, justru membuatku sedih. Karena dengan libur,
itu berarti intensitas bertemu denganmu berkurang.
Januari, 2001
Tahun baru datang. Seperti
inikah rasanya ketika kita sedang jatuh cinta? Hari-hari berasa cepat berlalu. Tanpa
terasa, 4bulan sudah aku menunggu. Ya, hanya bisa menunggu. Aku terlalu takut
untuk memulai. Aku terlalu canggung untuk mendekati. Bagaimana bisa, jantungku
berdebar begitu keras ketika semua teman-temanku kompak memanggilmu ketika kamu
lewat? Bagaimana bisa hanya dengan berada di dekatmu membuat keringat dingin
mengucur deras? Ah, sungguh aku tak tahu.
Pernah, beberapa kali
ketika kamu lewat didepanku. Kusuruh beberapa temanku untuk memotretmu. Tapi,
entah kenapa sepertinya semua tak berpihak padaku. Tak pernah sekalipun
kudapatkan fotomu di kameraku. Selalu saja gagal. Bahkan tak jarang, aku
tertangkap basah ketika sedang mengamati dan mencoba memotretmu. Betapa memalukannya.
Hahahaha
Februari, 2001
Aku mulai disibukkan
dengan urusanku. Hingga waktu untuk memperhatikanmu berkurang drastis. Bahkan pernah
sepekan kau tak menampakkan batang hidungmu didepanku. Seperti sedang
bersembunyi dari aku. seperti seorang spy yang berusaha mati-matian untuk tak
terdeteksi dan tak diketahui keberadaannya atau misinya akan gagal.
Tanpa kusadari. Ketika aku
sibuk dengan urusanku. Kamu juga sibuk dengan wanita barumu. Pernah kulihat
kamu berjalan beriringan dengan wanita itu. Dengan lembutnya kamu mengacak-acak
rambutnya gemas. Ah, sungguh aku iri. Dan aku benci melihat adegan roman
picisan itu.
Ingin rasanya pergi
saat itu jua. Menyerah. Karena kutahu, semua tak akan bisa dirubah. Semua akan
sia-sia tanpa ada keberanian. Dan sialnya, keberanianku tak cukup besar untuk
memulai pembicaraan denganmu. Bukankah setelah keberadaan wanita tempo hari dan
wanita yang baru-baru ini dekat denganmu cukup untuk meyakinkanku untuk mundur?
Tapi, kenapa hati seakan tak jera bahkan setelah berkali-kali disakiti karena
cinta sendiri?
Maret, 2001
Setengah tahun. Satu semester.
Kulalui dengan sia-sia. Kulalui tanpa kemajuan berarti. Satu hal yang terus
memotivasiku untuk bertahan yaitu kamu sendiri. Tapi, setelah keberadaan wanita
itu? Haruskah aku masih bertahan? Atau inikah saatnya menyerah? Kembali kepada
realita. Dan berhenti berangan.
Aku masih bimbang. Ingin
mengakhiri rasa diam-diamku, tapi rasanya aku tak bisa. Mulai kutambah
kesibukanku berharap kamu bisa hilang dari ingatanku, tapi sia-sia saja.
Pernah suatu kali, niat
untuk melupakanmu semakin kuat. Namun, lagi-lagi. Ketika keinginan itu muncul,
justru keadaan berpihak padaku. Entah aku berpapasan denganmu, atau bahkan tak
sengaja kendaraan kita berjejer parkir. Ah, entahlah. Aku pun tak tahu.
Ketika keinginan itu
mulai kuat. Justru keadaan berpihak padaku. Tapi ketika aku memilih bertahan,
seakan-akan banyak halang rintang didepanku. Jalanku tak selalu mulus. 6bulan
bukan waktu yang sebentar untuk sekedar rasa kagum. Ini sudah lebih dari cukup.
Dan kurasa, inilah saatku berhenti. Berhenti untuk mengagumi. Mencoba terbiasa
dengan ketidakhadiranmu. Doakan aku, semoga aku berhasil mengenyahkan segala
hal tentangmu yang masih bersarang di otakku.
Novika Ayu Amalia
(pelajar, 17 tahun)
butuh tissue :", sedih gaannn
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus